Kebudayaan Megalitikum bukanlah suatu zaman yang berkembang tersendiri, melainkan suatu hasil budaya yang timbul pada zaman Neolitikum dan berkembang pesat pada zaman logam. Setiap bangunan yang diciptakan oleh masyarakat tentu memiliki fungsi. Contohnya hasil kebudayaan zaman megalitikum: kapak persegi, kapak lonjong, Menhir , Dolmen, Kubur batu, Waruga, Sarkofagus, Punden Berundak.
Toraja Monolit 1935
Sepertiyang dikutip dari
Alam Mengembang Jadi Guru, kepulauan Indonesia adalah tuan rumah budaya megalit Austronesia di masa lalu dan sekarang. Budaya megalit yang masih ada dapat ditemukan di Nias, sebuah pulau lepas pantai barat Sumatera Utara, budaya Batak di pedalaman Sumatera Utara, Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, juga budaya Toraja di pedalaman Sulawesi Selatan. Budaya megalit ini tetap dipertahankan, terisolasi dan tidak terganggu sampai akhir abad 19.
Beberapa situs megalit dan struktur juga ditemukan di seluruh Indonesia. Menhir, Dolmen, meja batu, patung batu leluhur, dan struktur step-piramid yang disebut punden berundak ditemukan di berbagai situs di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil.
Megalit di sebuah desa di kecamatan Gunung Megang, Muara Enim, Sumatera Selatan (1931)
Punden Berundak dan menhir dapat ditemukan di Pagguyangan Cisolok dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalit Cipari juga di Jawa Barat menampilkan monolit, teras batu, dan sarkofagus. Punden berundak diyakini sebagai pendahulu dan kemudian menjadi desain dasar struktur candi Hindu-Buddha di Jawa setelah populasi pribumi mengadopsi Hinduisme dan Buddhisme.
Borobudurabad ke-8 dan
Candi Sukuh abad ke-15 juga sebenarnya menampilkan struktur punden berundak, bukan piramid. (baca beda antara punden berundak dengan piramid
disini)
Punden Berundak Pugung Raharjo, Lampung Selatan
Di Indonesia, beberapa etnik seperti nias, mentawai, sumba dll, masih memiliki unsur-unsur megalitik yang dipertahankan hingga sekarang. Dibawah ini beberapa daerah di Indonesia yang terkenal dengan banyaknya situs megalitnya
Pasemah
Megalitik Pasemah adalah peninggalan tradisi budaya megalitik di daerah Pasemah (Sumatera Selatan). Megalitik di wilayah Pasemah muncul dengan bentuk yang unik, langka, dan mengandung unsur kemegahan serta keagungan yang terwujud dalam bentuk-bentuk yang sangat monumental. Simbol-simbol yang ingin disampaikan oleh pemahat erat kaitannya dengan pesan-pesan religius.
Budaya megalitik Pasemah mulai diteliti pertama kali dan ditulis oleh L. Ullmann dalam artikelnya Hindoe-belden in binnenlanden van Palembang yang dimuat oleh Indich Archief (1850). Dalam tulisan Ullmann tersebut H. Loffs menyimpulkan bahwa arca-arca tersebut merupakan peninggalan dari masa Hindu. namun pendapat ini ditentang oleh Van der Hoop pada tahun 1932, ia menyatakan bahwa peninggalan tersebut dari masa yang lebih tua. Setelah penelitian Van der Hoop, penelitian tentang megalitik Pasemah dilanjutkan oleh peneliti-peneliti arkeologi, seperti R.P. Soejono, Teguh Asmar, Haris Sukendar, Bagyo Prasetyo, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan peneliti dari Balai Arkeologi Palembang secara intensif melakukan penelitian di wilayah Pasemah sampai saat ini.
Penampilan peninggalan budaya megalitik Pasemah sangat “sophiscated” dengan tampilnya pahatan-pahatan yang begitu maju, dan digambarkan alat-alat yang dibuat dari perunggu memberikan tanda bahwa megalitik Pasemah telah berkembang dalam arus globalisasi (pertukaran) budaya yang pesat. Alat-alat perunggu yang dipahat adalah nekara yang merupakan kebudayaan Dongson, Vietnam. Temuan peninggalan megalitik di pasemah begitu banyak variasinya, berdasarkan survei yang dilakukan peneliti Balai Arkeologi Palembang, Budi Wiyana telah menemukan 19 situs megalitik baik yang tersebar secara mengelompok maupun sendiri (1996).
Keadaan lingkungan wilayah Pasemah
Daerah Pasemah yang pernah diteliti oleh Van der Hoop, Tombrink, Westenek, Ullman, dan peneliti lainnya, daerah ini mudah dicapai dari kota-kota besar di sekitarnya, baik dari Jambi, Lubuklinggau, Palembang, dan lain-lain, karena tersedia jalan besar yang menghubungkan Pasemah dengan kota-kota besar di sekitarnya. Situs-situs megalitik dataran tinggi Pasemah meliputi daerah yang sangat luas mencapai 80 km². Situs-situs megalitik tersebar di dataran tinggi, puncak gunung, lereng, dan lembah. Situs Tinggihari, Situs Tanjungsirih, Situs Gunungkaya merupakan situs yang terletak di atas bukit, sementara Situs Belumai, Situs Tanjungarau dan Situs Tegurwangi merupakan situs-situs yang terletak di lembah. Dari hasil penelitian Fadlan S. Intan diketahui bahwa daerah Lahat dibagi atas tiga satuan morfologi (bentang alam), yaitu:
1. satuan morfologi pegunungan
2. satuan morfologi bergelombang
3. satuan morfologi dataran
Satuan morfologi pegunungan dengan puncak-puncaknya antara lain Gunung Dempo (3159 mdpl) dan pegunungan Dumai (1700 mdpl). Satuan morfologi bergelombang ketinggian puncaknya mencapai 250 mdpl, lereng umumnya landai, dengan sungai berlembah dan berkelok-kelok. Satuan morfologi dataran dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Satuan morfologi pegunungan merupakan tempat tersedianya bahan hasil letusan Gunung Dempo yang menyebarkan lahar dan lava serta batuan-batuan vulkanis. Daerah Lahat dengan batuan-batuan beku andesitnya telah dipilih menjadi tempat pemukiman. Pemilihan ini tampaknya mempunyai pertimbangan-pertimbangan geografis dan tersedianya batuan untuk megalitik. Keadaan lingkungan di Pasemah merupakan daerah yang sangat subur yang memungkinkan penduduk di sana dapat membudidayakan tanaman.
Tidak seberapa jauh dari batas kabupaten, memasuki kota Lahat, di Kecamatan Merapi Barat, terdapat suatu arca peninggalan megalitik, beserta dolmen dan menhir. Tinggalan megalitik ini berada di pelataran SMPN 2 Merapi Barat. Arca tersebut dikenal sebagai Batu Putri atau secara resmi seperti tertulis di plank: Arca Manusia Tanjungtelang. Arah hadap arca yang berbahan batupasir volkanik ini berada dalam satu garis lurus dengan diagonal dolmen dalam arah barat daya. Dolmen yang juga terbuat dari lapisan batupasir berwarna kuning keputih-putihan, berbentuk seperti meja berukuran 1,5 x 1,5 m. Dolmen ini tergeletak berjarak 20 m dari tempat arca berdiri. Agak terpisah jauh, sebuah menhir dari batu andesit dengan tinggi 80 cm berdiri tegak di halaman depan SMP itu.
Kompleks peninggalan megalitik ini berada di sebelah utara dari sebuah sungai yang menjadi sungai utama di Lahat, yaitu Aek Lematang. Sungai ini di dataran Lahat mulai menunjukkan pola aliran berkelok-kelok atau bermeander, dengan teras-teras sungai di bantaran kanan dan kirinya. Ada dugaan, teras sungai ini – sebagaimana teras-teras sungai besar di peradaban-peradaban kuno – merupakan tempat yang paling layak menjadi lantai kehidupan masyarakat purbakala. Di Kabupaten Lahat, tinggalan arca megalitik yang tersebar sangat luas, cenderungan berada di sekitar Aek Lematang, walapun beberapa di antaranya terpisah sangat jauh di perbukitan yang mungkin mempunyai makna lain tersendiri.
Arca-arca megalitik ini umumnya menggambarkan raksasa bersama hewan-hewan seperti gajah, harimau, atau ular. Arca Batu Putri atau Manusia Tanjungtelang misalnya menggambarkan seorang raksasa dengan kepala yang tidak jelas, bahkan hampir seperti menggunakan helmet. Posisi kepalanya lurus, dengan tangan sedang memangku seekor gajah. Kesan masyarakat awam akan melihat seolah-olah arca ini belum selesai dipahat dan ditinggalkan begitu saja sebelum detailnya selesai. Ada kesan kemesraan yang tertangkap antara raksasa dan gajak di pangkuannya. Seolah-olah gajah itu adalah anak yang diasuhnya.
Batu Macan
Arca yang lain di antaranya apa yang disebut sebagai Batu Macan di Desa Pagaralam, Pagergunung. Arca ini menunjukkan seekor macan yang memeluk mesra dari belakang suatu figur yang kurang begitu jelas, apakah seekor macan yang lain, seekor kera besar, atau seorang raksasa. Adapun di Desa Muaradanau, di antara perkebunan karet, dijumpai arca batu seorang raksasa yang sedang duduk bersila dengan satu kaki tertekuk dipeluk lengannya yang memegang sesuatu yang mirip pisang. Raksasa ini menindih mahluk mirip manusia yang lebih kecil yang seperti ditikam di punggung dengan pisau yang dipegang tangan kirinya. Arca ini disebut sebagai Batu Buto.
Di Desa Gunungmegang, Kecamatan Jarai, masih di Kabupaten Lahat, berbatasan dengan Kota Pagaralam, beberapa tinggalan magalitiknya lebih bervariasi. Selain arca, dijumpai juga ruang-ruangan yang dindingnya tersusun dari batu, sehingga dikenal sebagai kubur batu atau bilik batu. Ahmad Rivai, warga Desa.
Kubur batu Tanjung Aro
Gunungmegang yang diangkat sebagai juru pelihara oleh Balai Pelestarian Peninggalan Prasejarah (BP3) Jambi mengatakan bahwa kubur-kubur batu dan arca-arca tersebar luas dan sangat banyak di kaki Gunung Dempo. Di Gunung Megang saja sedikitnya terdapat tiga situs yang menjadi tanggunungjawabnya, yaitu Kubur Batu Gunungmegang, Batu Putri, dan Batu Orang.
Kubur Batu Pagaralam
Semua arca umumnya dipahat pada batupasir atau breksi volkanik, yaitu batu yang terbentuk secara sedimentasi dari hasil letusan gunung api. Batunya memang keras dan kompak. Tetapi dengan peralatan logam, bahkan batu lain yang dipipihkan atau dibuat runcing, jenis batu arca dapat mudah dikerjakan. Begitulah mengapa arca-arca ini dipilih dari bahan batu itu karena kemudahannya untuk dipahat dan diukir. Adapun kubur dan bilik batu, umumnya menggunakan batu-batu yang lebih keras seperti andesit. Pada umumnya, batu-batu untuk bangunan ini sedikit sekali mengalami rekayasa, keculai lubang kecil atau goresan-goresan dangkal.
Dempo sebagai kiblat
Menariknya, arah kubur batu dengan sangat tepat mengarah ke puncak Gunung Dempo. Hal yang sama terukur dari wajah Batu Orang yang seolah-olah tengadah mengamati puncak Gunung Dempo, sementara ia menindih seekor gajah yang belalainya ia cengkeram dengan kuat. Keganjilan ada di arca Batu Putri yang posisi kepalanya berada pada permukaan tanah, sehingga hampir seluruh badannya berada di bawah tanah. Arca Batu Putri seperti dalam posisi meringkuk dengan badan tertekuk membelakangi Gunung Dempo di arah barat daya, dan kepalanya berpaling ke arah utara.
Arca lain di kaki Gunung Dempo disebut sebagai Batu Manusia Dililit Ular. Arca ini berada di tengah-tengah tegalan dan sawah yang sangat datar di Desa Tanjungaro, Pagaralam. Arca ini setinggi 1,5 m dengan diameter kira-kira 1 m, menggambarkan dua orang manusia yang sedang bergelut dan dililit ular. Anehnya ular-ular yang melilit mereka adalah kepanjangan lengan-lengan mereka sendiri. Di sini, arca ini tidak memiliki orientasi tertentu. Tetapi bersama-sama dengan batu besar lainnya, seluruhnya berjajar dalam satu orientasi yang lurus tepat ke puncak Gunung Dempo.
Sekali lagi pada beberapa arca arah hadapnya berbeda, tetapi secara umum posisi hadap arca-arca ini hampir seluruhnya ke arah barat, atau lebih tepatnya lagi arah barat daya (selatan-barat). Sehingga mungkin kita dapat bertanya: mengapa arah barat daya? Wajah arca Manusia Tanjungtelang di Merapi Barat misalnya mengapa tidak dihadapkan ke timur arah Bukit Serelo yang berbentuk jempol yang bermorfologi cukup menonjol dan menarik perhatian, serta sangat dekat dan jelas terlihat dari tempat arca ini berada? Jika kita mengukur orientasi arca-arca ini dengan teliti, ada perkiraan bahwa semua arca megalitik tersebut dihadapkan ke barat daya karena mengarah ke Gunung Dempo (+ 3159 m). Gunung Dempo adalah satu-satunya gunung api aktif di Sumatera Selatan pada Pegunungan Bukit Barisan.
Seperti telah disebut di atas, hal tersebut semakin pasti ketika kita mengamati arac-arca yang berada pada kaki dan lereng Gunung Dempo. Di sekitar Kota Pagaralam yang udaranya sesejuk Kota Bandung waktu dulu, arca-arca tersebar di Kecamatan Pajarbulan dan Jarai, juga bilik atau kubur batu, dengan pasti terukur melalui kompas, teroreintasi ke Gunung Dempo. Menarik sekali ketika arah poros bilik batu, selain juga arah wajah arca-arca berbentuk raksasa, dengan tepat menghadap ke arah kerucut G. Dempo yang tampak megah menjulang di dataran tinggi di mana Pagaralam berada, atau yang lebih dikenal sebagai dataran tinggi Pasemah (sekarang disebut juga Besemah). Selain itu, suatu kumpulan menhir (batu tegak) sebanyak enam buah di Kecamatan Tanjungsakti yang berada di sisi barat daya Gunung Dempo, porosnya mengarah ke timur laut yang tidak lain adalah puncak Gunung Dempo.